Selasa, 29 November 2016

Pengusaha: 'PLN Mini' di Desa Terpencil Perlu Disubsidi Pemerintah

Pengusaha: PLN Mini di Desa Terpencil Perlu Disubsidi Pemerintah

Jakarta - Menteri ESDM Ignasius Jonan ingin swasta ikut membantu melistriki 2.500 desa tak berlistrik di seluruh Indonesia. Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang mengizinkan swasta untuk membangun pembangkit, jaringan, dan menjual listrik secara langsung kepada masyarakat di daerah-daerah terpencil telah ditandatangani Jonan dan diserahkan ke Kementerian Hukum dan HAM. 

Selama ini, hanya PLN yang bisa menjual listrik ke masyarakat. Dengan adanya aturan baru itu, PLN tak lagi memonopoli, swasta juga bisa menjadi 'PLN mini' di daerah-daerah terpencil yang tak terjangkau PLN.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Energi Baru Terbarukan dan Lingkungan Hidup, Halim Kalla, memberikan beberapa masukan agar kebijakan itu bisa sukses saat diimplementasikan. 

Pertama, pemerintah harus perlu menyediakan subsidi untuk swasta yang menjadi PLN mini di daerah terpencil. Sebab, Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah terpencil pasti lebih tinggi daripada BPP listrik PLN di seluruh Indonesia yang hanya Rp 1.352/kWh. 

Sulit bagi swasta untuk dapat menjual listrik ke masyarakat dengan tarif yang sama seperti PLN. Di sisi lain, masyarakat di daerah terpencil tentu tak bisa menanggung tarif listrik yang tinggi. Maka pemerintah harus menyediakan subsidi untuk menutup selisih antara BPP listrik di daerah terpencil dengan harga jual listrik dari swasta ke masyarakat di sana. 

"Harga yang profitable. Di sini harus ada subsidi. Nggak mungkin kita jual dengan harga mahal ke masyarakat. Jadi kalau BPP tinggi, pemerintah yang memberikan subsidi," ujar Halim dalam Rakernas Kadin Bidang EBT dan Lingkungan Hidup di Kartika Chandra, Jakarta, Selasa (29/11/2016).

Kedua, kapasitas pembangkit listrik yang ditawarkan pada swasta paling sedikit 10 MW. Kalau 1 desa kebutuhannya kurang dari 10 MW, misalnya hanya 3 MW, bisa saja digabungkan dengan beberapa desa lain hingga menjadi 10 MW. 

"Harus ada skala keekonomian. Tidak bisa kita cuma 100 KW, 1 MW, 2 MW. Kalau swasta idealnya 10 MW minimal agar skala keekonomian tercapai, biarpun terpencar-pencar," cetus Halim.

Ketiga, Halim mengusulkan kalau bisa pembangunan jaringan transmisi dilakukan oleh badan usaha khusus, tidak diserahkan pada swasta. Alasannya, pembangunan transmisi kurang ekonomis bagi swasta, pembebasan lahannya juga sulit. Swasta cukup menyewa transmisi saja, membayar tarif untuk listrik yang dialirkan lewat transmisi itu.

"Masalah transmisi jadi beban juga karena di kampung. Kalau swasta semua yang membangun mulai dari pembangkit sampai transmisi itu cost-nya mahal. Banyak kendalanya juga, misalnya pembebasan lahannya. Tanpa campur tangan pemerintah susah jalan. Selayaknya transmisi ini perusahaan tersendiri yang mengatur, seperti jalan tol," tutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar